Indahnya Meleburkan Seks dan Mistik, Menarik Dibaca



Membaca judul di atas, seperti ada keanehan di situ. Namun, bisa juga ada hal yang sangat menarik di situ. Tenyata seks dan juga mitos dapat disatukan. Koq bisa?

Itulah yang ada pada buku Serat Centhini, sebuah buku klasik Jawa kuno,  yang dianggap adalah karya terbesar dan terindah dalam kesusastraan Jawa, yang ditulis pada abad ke-19. Dia lahir dari rahim keraton Solo.

Buku ini lahir dari keinginan Pangeran Adipati Anom, seorang putra Susuhunan Pakubuwana IV,  yang juga menginginkan pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa juga dikumpulkan. Tiga pujangga keraton ditunjuk untuk membantunya.

Kerja keempatnya yakni menghasilkan karya setebal 4.000 halaman lebih yang terbagi atas selusin jilid. Beberapa jilid di antaranya memuat tentang  ajaran erotika yang dibalut dengan mistisisme Islam dan Jawa.

Buku yang diterjemahkan oleh Elizabeth D. Inandiak, seorang Prancis mengatakan jika dalam Centhini, seks tidak diartikan hanya sebagai pertemuan dua alat kelamin manusia. "Kalau cuma bersetubuh, nanti lama-lama bisa busuk," kata Inandiak.

Perpaduan antara seks dan mistik dapat dipahami seperti ini; kisah asmara paling halus dalam Serat Centhini tidak pelak menjadi milik pasangan Amongraga dan Tembangraras. Amongraga, putra mahkota Sunan Giri, juga duduk berhadapan dengan Tambangraras, istrinya, di kamar pengantin pada malam pertama pernikahannya.

Amongraga berada di buritan ranjang pengantin, sedangkan Tambangraras duduk di haluan. Jarak antara keduanya sangat jauh. Riuh-rendah tetamu yang masih berpesta dan mabuk di luar kamar masih terdengar, sedangkan suasana pada kamar sangat tenang dan juga damai.

Amongraga tidak lantas bersanggama dengan istrinya. Dan juga terus begitu hingga malam keempat puluh. Selama ini, Amongraga mengajarkan sejumlah rahasia kepada istrinya supaya  persanggamaan mereka mencapai penyatuan sejati. Sebelum tibanya malam ini, keduanya hanya saling menatap dan juga berbicara.

Mereka bertelanjang secara bertahap sesuai dengan tingkatan mistiknya. "Semakin tinggi tingkatan mistiknya, semakin tinggi pulalah ketelanjangannya," ungkap Inandiak.

Tingkatan mistik tercapai berkat ajaran-ajaran Amongraga yang telah diambil dari mistisisme Islam dan asmaragama (seni bercinta Jawa). Ajaran Islamnya juga bersumber dari buah pikir sufi Timur Tengah seperti Al-Jili, Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghazali, dan Rumi.

Sedangkan ajaran asmaragama bersumber dari tradisi tantrisme dan falsafah Jawa Kuno. Karna asmaragama, banyak yang menganggap Serat Centhini yakni sebagai Kamasutra Jawa. "Memang ada yang menyebut seperti itu, tetapi menurut Inandiak sang penerjemah,  Centhini bercerita tentang banyak hal. Lebih luas daripada Kamasutra," ungkapnya.

Amongraga menyadari sepenuhnya apa yang diajarkannya selama empat puluh malam, pun juga dengan Tambangraras. Jiwa mereka terbakar dalam api asmara. Dan mencapai puncaknya di malam keempatpuluh. Saat inilah, mereka menyatukan tubuh. Tak ada laki-laki, tak ada perempuan. Manunggal. Demikianlah puncak erotika. Inandiak menyebut itu ialah paduan sir (nafsu dalam bahasa Jawa) dan sir (rahasia dalam bahasa Arab).

"Nafsu yang mengangkat asmaragama ke alam gaib (rahasia)," ungkap Inandiak. Sesuatu yang menurut Inandiak menjadi padanan kata paling tepat itu ialah erotika dan tak ditemukan pada alam pikiran orang Barat melalui pembacaannya terhadap karya sastra mereka.

"Sepanjang pengetahuan saya,” ungkap Inandiak, “mudah-mudahan saya salah, tidak ada kesusastraan Eropa yang menggabungkan seks dan juga mistik seperti ini. Hanya di Indonesia saja, dan mungkin hanya di Jawa.



Artikel Terkait